Kerjasama dengan PCI NU Tiongkok, Institut Padhaku Indramayu Gelar Bedah Buku

Categories:

Indramayu – Institut Pangeran Dharma Kusuma (Institut Padhaku) Segeran Juntinyuat

Indramayu menjalin kolaborasi dengan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama (NU) Tiongkok dengan menggelar bedah buku “ Santri Indonesia di Tiongkok.” Selasa ( 26/03).

Buku ini merupakan karya Ahmad Syaifuddin Zuhri, santri Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Tiongkok dan juga Rois Syuriah PCI NU Tiongkok. Bedah buku yang berlangsung di Aula Institut Padhaku Segeran Juntinyuat Indramayu tersebut menghadirkan narasumber yakni Kaula Fahmi, Ahmad Musyafa dan Akhmad Rifai. Kegiatan ini diikuti oleh 243 peserta secara tatap muka dan 125 melalui daring.

Pada sambutan pembuka, Wakil Rektor IV Institut Padhaku, H Miftahul Fatah mengapresiasi atas kegiatan Nihao Ramadhan PCI NU Tiongkok.

“Alhamdulillah kampus kami menjadi salah satu tuang rumah dalam kegiatan roadshow seminar dan bedah buku “Santri Indonesia di Tiongkok” yang dilakukan di enam kota yaitu Banda Aceh, Kendal, Pontianak, Indramayu, Mataram dan Yogyakarta”. tuturnya.

Miftah berharap melalui kegiatan ini mampu memberikan pemahaman yang komprehensif tentang islam di Tiongkok, serta mengispirasi mahasiswa kami untuk melanjutkan studi di China.

Senada dengan Miftah, Ketua PCI NU Tiongkok, Kaula Fahmi menjelaskan kegiatan roadshow Nihao Ramadhan ini bertujuan menyambung tali silaturrahim.

“Program ini sebagai tanggung jawab kami, kami studi S1, S2, S3 di Tiongkok itu oleh olehnya tidak kami simpan sendiri. Kami tulis dan ceritakan melalui buku dan seminar. “ jelasnya.

Setelah memberikan informasi tentang studi, beasiswa dan peluang lainnya di China untuk para santri atau masyarakat Indonesia, Fahmi juga berharap kedepan bisa terus berkolaborasi dengan Institut Padhaku.

Narasumber pertama, Ahmad Musyafa menjelaskan narasi keliru tentang China terus berkembang karena masyarakat di tanah air masih melihat negara itu seperti saat masih berada di bawah kekuasaan Mao Zedong melalui revolusi kebudayaan.

Padahal kondisi itu telah berubah setelah negara itu beralih di bawah tampuk kepemimpinan Deng Xiaoping. Melalui kebijakan reformasi ekonomi dan “open door policy” yang diterapkan, negara itu mulai terbuka dengan dunia luar salah satunya dengan merangkul seluruh etnik dan umat beragama termasuk komunitas Muslim untuk hidup berdampingan di negara itu.

“Pembangunan rumah-rumah ibadah juga tumbuh signifikan. Sayangnya masih banyak yang memandang China dengan kaca mata sebelum Deng Xiaoping,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Kaprodi PTI Institut Padhaku, Akhmad Rifa’i merasa kagum terhadap buku tersebut. Menurutnya santri sering kali di diskreditkan kuno, tradisional dan tidak modern. Tetapi melalui buku ini memposisikan santri pada posisi yang luar biasa. “Saya kagum dengan buku ini, memberikan gambaran faktual Islam dan menjadi jembatan untuk memperkuat gagasan Islam Nusantara”. tuturnya.

Dalam buku tersebut, Rifai menjelaskan dirinya tertarik dengan topik toleransi. “Bagi saya yang sangat menarik salah satunya adalah isu toleransi. Pertama, di China ada 58 suku tetapi antara suku besar dan kecil tidak ada diskriminasi. Kedua, adar peraturan di China pada pendudukan yang sudah 1.4 miliar orang, komunitas itu satu keluarga hanya boleh punya satu ana, tapi aturan itu tidak berlaku bagi orang muslim”. jelasnya.

Pandangan santri terkait isu kemanuasiaan di Xinjiang dan Islam di China tertindas dijawab dengan lugas melalui buku tersebut. “Sebenarnya Tiongkok tidaklah anti Islam, seperti yang diberitakan media mainstream. Kebebasan beragama di Tiongkok di jamin dengan baik oleh regulasi, selama tidak menimbulkan resiko, menentang dan membahayakan negara”. pukasnya.

Kegiatan ditutup dengan penandatanganan Naskah Kerjasama antara PCI NU Tiongkok dengan Institut Padhaku dan Buka Puasa Bersama.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *